YLBHI.LBHManado – 24 September tahun 2024 menjadi momentum refleksi untuk memperingati Hari Tani Nasional. Kita berharap cita-cita Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menghapuskan ketimpangan penguasaan lahan akan terwujud. Tetapi, 64 tahun berlalu dan amanat UUPA makin jauh ditinggalkan bahkan bergeser pada paradigma liberalisasi agraria, bahwa tanah dan ruang diperuntukan sebesar-besarnya untuk kepentingan korporasi swasta-negara melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana amanat UU Cipta Kerja. Glorifikasi pemerintah melalui program percepatan reforma agraria (pembuatan kebijakan satu peta) termasuk di dalamnya sertifikasi tanah dalam bentuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan operasionalisasi Bank Tanah, pada dasarnya merupakan pola kebijakan yang mengulang proyek Administrasi Pertanahan pada tahun 1990-an yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Selain itu, sertifikasi lahan di atas tanah-tanah bebas konflik adalah pekerjaan administrasi rutin Kementerian ATR/BPN, sama sekali bukan Reforma Agraria. Reforma Agraria sejati menghendaki tanah negara diberikan kepada rakyat, bukan tanah rakyat yang disertifikatkan dengan tujuan adanya penyelesaian konflik dan mengurangi ketimpangan penguasaan lahan.
Dalam lingkup nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya terjadi 241 letusan konflik agraria yang terjadi di atas tanah seluas setengah juta hektar, yakni 638.188 ha, tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 Kepala Keluarga di sepanjang tahun 2023 (Catahu 2023 KPA, 2024).
Termasuk didalamnya Sulawesi Utara yang tidak luput dari letusan konflik agraria. Dibawah pemerintahan rezim state capitalism Olly Dondokambey dengan gurita oligarki lokal-nasionalnya menghasilkan akses perampasan lahan dan penyingkiran ruang hidup yang berdampak pada krisis agraria, kerusakan lingkungan dan kriminalisasasi aktivis sebagaimana yang tergambar dalam konflik agraria di Sulawesi Utara. Hingga saat ini, catatan kasus yang nampak sebagai berikut.
- Perampasan tanah petani kelelondey oleh otoritas Militer, konflik yang dimulai dari klaim sepihak TNI di lahan Kelelondey membentang luas 350 hektar yang masuk wilayah Noongan, Raringis, Ampreng dan Tumaratas mengakibatkan perampasan ruang hidup kepada kurang-lebih 300 petani yang mengantungkan hidupnya diatas tanah pertanian. Sampai saat ini petani masih belum sepenuhnya berdaulat atas tanah dengan bayang-bayang perampasan oleh TNI AD tanpa perlindungan dan keberpihakan pemerintah daerah.
- Perampasan tanah petani Kalasey Dua oleh Pemerintah. Konflik ini dilatari dengan pemberian SK Nomor 368 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Hibah Barang Milik Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara berupa tanah seluas 20 hektar di Desa Kalasey Dua kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tanggal 9 November 2021. Hibah ini diberikan untuk membangun Politeknik Pariwisata guna menopang PSN Kawasan Ekonomi Khusus Likupang. Meski telah digarap menjadi lahan produksi pertanian sejak pra kemerdekaan dan menjadi objek redistribusi tanah bekas HGU sejak Tahun 1986 melalui SK Mendagri No. 341/DIA/1986. Penindasan petani oleh pemerintah daerah nyata terlihat saat proses penggusuran 7 November 2022 yang di kawal aparat kepolisian dan Pol-PP secara brutal memukul, memaki dan menangkap masyarakat dan aktivis yang menolak penggusuraan. Upaya membungkam perlawanan ini, sebanyak 6 perempuan mendapatkan panggilan polisi pada Desember 2022 dengan tuduhan perlindungan anak. Mereka dituduh melibatkan anak-anak dalam aksi unjuk rasa menolak perampasan lahan di Kalasey Dua pada November 2022. Padahal, anak-anak yang terlibat dalam unjuk rasa juga memiliki hak untuk mempertahankan haknya. Peristiwa ini selain menghilangkan penghidupan petani, juga menimbulkan trauma bagi masyarakat termasuk anak-anak. Sampai saat ini proses penggusuran lahan masih terus terjadi di wilayah Kalasey Dua. Giat-giat manipulasi partisipasi terus terjadi melalui agenda sosialisasi semu untuk menghindari terwujudnya reforma agraria sejati.
- Penggusuran tempat tinggal di Cereme Kampung Baru. Pada Juli 2023, Puluhan aparat gabungan Satpol PP, Polisi dan TNI melakukan penggusuran terhadap bangunan tempat tinggal warga Cereme Kampung Baru, Singkil, Kota Manado. Penggusuran itu dilakukan secara paksa dan tanpa dasar hukum yang jelas sehingga mengancam hak hidup dan hak atas tempat tinggal yang layak warga Cereme Kampung Baru. Diketahui, warga Cereme Kampung Baru sudah menetap dan bertempat tinggal di lokasi tersebut sejak tahun 1980-an. Mereka bekerja sebagai buruh lepas, pedagang dan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, Pemerintah Kota Manado mengklaim kepemilikan bidang lahan yg ditempati warga Cereme Kampung Baru tanpa dasar hukum yang jelas. Pasalnya, Pemkot Manado mengaku telah menerima hibah lahan tersebut dari Pemprov Sulut yang menguasai lahan dengan Hak Pakai yang terbit tahun 1990. Nyatanya, dalam 30 tahun terakhir warga tidak menemui adanya aktifitas penguasaan atas lahan tersebut oleh Pemerintah Daerah. Bahkan sampai saat terjadinya penggusuran, pemerintah tidak pernah menunjukan bukti penguasaan lahan kepada warga yang digusur. Konflik agraria perkotaan ini meneguhkan pemerintah daerah sebagai aktor pelanggar Hak Asasi Manusia, karena tidak memenuhi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menentukan bahwa negara mengakui hak setiap orang akan suatu standar penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang cukup dan perbaikan kondisi penghidupan yang terus menerus, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
- Perampasan ruang hidup dengan proyek KEK Likupang. Konflik agraria ini, Bermula dari klaim sepihak PT. MPRD (Alas Hak HGB) dalam Upaya Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang di Kecamatan Likupang, ditetapkan lewat PP No 84 tahun 2019. Desa Kinunang dan Pulisan desa yang hari ini paling terkena dampak. Wilayah pesisir yang menjadi sandaran hidup warga disana kini terancam diambil alih oleh investor. Dalam perjuangan mempertahankan penghidupannya, sama seperti kalasey dua, pembela lingkungan di Likupang mengalami kriminalisasi dalam bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Sebanyak 8 orang nelayan dikriminalisasi karena melakukan penolakan terhadap pengembangan KEK Pariwisata Likupang oleh PT. MPRD. Perlawanan ini berdasarkan masyarakat Pulisan dan Kinunang telah menguasai dan memanfaatkan lahan di wilayah pesisir Likupang selama secara turun temurun. Mereka dikriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik dan pengrusakan.
- Perampasan ruang laut nelayan melalui Reklamasi Manado Utara. Ambisi investor dan pemerintah daerah menimbun laut teluk Manado terus berlanjut sampai saat ini di Wilayah Manado Utara. Proyek reklamasi oleh pengembang PT Manado Utara Perkasa (MUP) di kawasan pesisir Karangria-Tumumpa, mulai berproses menimbun kawasan laut untuk menjadi area komersialisasi bagi para investor dan menjadi lanjutan dari proyek reklamasi jalan Boulevard II. Proyek ini akan membuat daratan baru seluas 90 hektar dengan dasar penerbitan Kesesuaian Ruang Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan Izin Pelaksanaan Reklamasi oleh pemerintah yang dipegang oleh pengembang (reklamator) yakni PT Manado Utara Perkasa (MUP). Akibatnya, lebih dari 400 nelayan akan tersingkir dari ruang hidupnya yang mengandalkan laut sebagai objek mata pencaharian sejak berpuluh-puluh tahun, selain itu perusakan ekosistem laut serta dampaknya pada wilayah konservasi taman laut bunaken dan pengaruhnya terhadap perubahan iklim menghadirkan dampak ekologis jangka panjang dari kebijakan reklamasi pantai ini. Sedari awal Perumusan kebijakan ini sangat tidak partisipatif, yang mana seharusnya melibatkan partisipasi nelayan melalui konsultasi efektif bukan sekedar sosialisasi belaka.
Secara struktural, konflik agraria diatas dimaknai sebagai manifestasi dari terjadinya perampasan tanah masyarakat oleh badan usaha negara dan swasta yang difasilitasi oleh kebijakan dan diatur oleh modal. Selaras dengan Berbagai konflik agraria diatas terjadi karena ambisi investasi pariwisata yang digenjot pemerintah daerah Sulawesi Utara hari ini melalui pola privatisasi investor di ruang wilayah kelola rakyat. Meningkatnya tren pembangunan pariwisata di Sulawesi Utara berbanding lurus dengan penurunan kualitas demokrasi. Agenda hak asasi manusia sama sekali hilang dari pembangunan yang sejak awal memang bertujuan semata-mata untuk peningkatan ekonomi, akumulasi modal, dan privatisasi sumber daya alam yang berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia dan pemiskinan struktural. Nelayan, petani, perempuan, anak-anak, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya rentan menjadi korbannya. Selain kehilangan kuasa atas sumber daya, masyarakat terdampak juga tidak berdaya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Investasi dan pembangunan yang bersifat “lapar tanah” di atas tanah-tanah masyarakat menghadirkan pembungkaman masyarakat dalam perjuangan terhadap hak atas tanah menjadi modus negara dan swasta untuk meredam upaya masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan di Sulawesi Utara tidak berbasis hak asasi manusia dan merupakan ancaman terhadap demokrasi.