YLBHI.LBHManado – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado bersama Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender dan  Forum Advokasi HAM Manado (FAHAM) menyambangi Pengadilan Tinggi (PT) Manado dan menggelar aksi damai terkait maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sulawesi Utara, kamis, (14/11/2024).

Dalam aksi ini, LBH Manado menyerahkan Amicus Curiae sebagai bentuk perjuangan bahkan menjelaskan poin penting sebagai lembaga independent yang menangani kasus kekerasan seksual berbasis gender. Adapun isi Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) sebagai berikut:

AMICUS CURIAE atas Perkara No. 130/PID/2024/PT MND di Pengadilan Tinggi Manado

A. KEPENTINGAN YLBHI-LBH MANADO SEBAGAI AMICI

  • Bahwa Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Manado (YLBHI-LBH Manado) adalah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia berbentuk Yayasan sebagaimana disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-AH.01.06-0033722, Perihal Penerimaan Perubahan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia disingkat YLBHI, berkedudukan di Jakarta Pusat dan sesuai Anggaran Dasar yang termaktub dalam Akta nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011, sebagai Yayasan yang bersifat bebas (independen) dan tidak mencari keuntungan.
  • Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum Manado, beralamat di Jl. A Monuhutu. No 29, Kelurahan Wanea Lingk. III, Kecamatan Wanea, Kota Manado.
  • Bahwa YLBHI-LBH Manado merupakan lembaga yang berperan aktif dalam proses penegakan hukum dan mewakili kepentingan umum, guna terwujudnya sistem hukum yang adil dan demokratis berlandaskan hak asasi manusia dan kearifan lokal bagi orang atau kelompok orang yang termarjinalkan, melalui advokasi untuk menghilangkan ketidakadilan dan ketimpangan relasi berdasarkan hukum, sosial, ekonomi, politik, budaya, keyakinan dan gender, mendorong percepatan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik dan bergerak atas dasar kepedulian dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang berorientasi pada keadilan sosial dan ekologis.
  • Dalam merumuskan dan mencapai tujuannya YLBHI-LBH Manado juga secara aktif memperhatikan dan menyuarakan pemenuhan HAM dalam isu-isu spesifik, khususnya yang berkaitan dengan peradilan yang adil (fair trail), perlindungan kelompok rentan dan perlindungan terhadap korban atas kekerasan berbasis gender dalam hal ini perempuan dan anak.
  • Selama ini, YLBHI-LBH Manado aktif memberikan bantuan hukum serta melaksanakan kegiatan berupa diskusi akademis, focus group discussion, permberdayaan kelompok rentan dan pendidikan hukum kepada masyarakat khususnya terkait isu kekerasan berbasis gender. Selain itu, YLBHI-LBH Manado menjalin kolaborasi dalam bentuk koalisi bersama lembaga-lembaga lain di dalam maupun di luar wilayah Kota Manado dalam pemberian bantuan hukum struktural kepada korban kekerasan berbasis gender dan kelompok rentan.
  • Terkait isu Kekerasan Seksual dan perlindungan terhadap perempuan dan anak LBH Mando, Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender dan  Forum Advokasi HAM Manado (FAHAM). 
  • YLBHI-LBH Manado terdiri dari praktisi hukum antara lain pengabdi bantuan hukum/pengacara publik dan asisten pengabdi bantuan hukum/paralegal yang memiliki latar belakang pendidikan hukum dan berpengalaman pada kegiatan advokasi. Seluruh jajaran YLBHI-LBH Manado memiliki kesamaan dalam hal penggunaan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memberikan pendapat hukumnya terhadap berbagai permasalahan hukum. 
  • Berdasarkan uraian diatas, YLBHI-LBH Manado merasa memiliki kepentingan, bahkan berkewajiban, untuk menyerahkan amicus curiae atas Perkara No. 130/PID/2024/PT MND kepada Majelis Hakim yang menangani kasus a quo di Pengadilan Tinggi Manado.
  • Penyusunan amicus curiae ini diarahkan untuk menjelaskan beberapa perspektif terhadap permasalahan dalam kasus a quo, yakni:
  • Menjelaskan argumen-argumen utama yang menurut pandangan YLBHI-LBH Manado selaku amici sebagai alasan pokok bagi hakim untuk meninjau kembali Putusan pada tingkat pertama yang belum memuat rasa keadilan bagi korban dengan mempertimbangkan kerugian materil dan non-materil, sehingga perlu adanya hukuman yang maksimal serta pemberian restitusi yang layak
  • Menguraikan peran penting pengadilan, dalam hal ini Majelis Hakim dalam kasus a quo, untuk mengeluarkan putusan yang dapat menghadirkan bagi korban dan kelompok rentan dalam kasus kekerasan seksual berbasis gender di Indonesia;
  • Memberikan pedoman-anjuran bagi Majelis Hakim dalam menggunakan doktrin dan aturan dari sistem HAM internasional sebagai rujukan pertimbangan dalam memutus kasus a quo

B. KEDUDUKAN DAN PERAN AMICUS CURIAE DALAM PRAKTIK PERADILAN DI INDONESIA

  • Tradisi mengenai Amicus Curiae (amici, pl.) berasal dari hukum Romawi dan mulai dipraktekkan pada abad ke-9. Pada awalnya, praktek amicus curiae digunakan oleh negara-negara dengan sistem hukum Common Law. Akan tetapi, sekarang amicus curiae lazim digunakan pada negara dengan sistem hukum Civil Law. Melalui mekanisme ini, pengadilan diberikan izin untuk mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familia.
  • Amicus Curiae lazim disebut sebagai “friends of court”, yaitu masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Dalam pengaturannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Pasal inilah yang menjadi dasar praktek Amicus Curiae dapat diterapkan dalam sistem hukum Civil Law, sebab dengan adanya Amicus Curiae dapat membantu hakim dalam memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang terdapat di masyarakat.
  • Dasar hukum atas relevansi Amicus Curiae di Indonesia dapat dirujuk pada Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 yang menyatakan bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah “pihak yang karena kedudukannya, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya” atau “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan yang dimaksud.”
  • Dalam peradilan pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengindikasikan relevansi praktek Amicus Curiae. Pasal 180 Ayat (1) KUHAP menyatakan: “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
  • Amicus Curiae bukanlah suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara. Sebaliknya, Amicus Curiae justru membantu Majelis Hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus perkara.
  • Pemberian Amicus Curiae kepada majelis hakim diharapkan agar dapat memutus perkara ini dengan juga menjalankan amanat PERMA 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang mana Mahkamah Agung yang pertama kali mengeluarkan aturan sejenis ini dengan sangat progresif.

C. KRONOLOGI PERKARA

  • Dalam rentang waktu November 2023 sampai Januari 2024 di tempat dan waktu yang berbeda-beda di Minahasa Utara terjadi kekerasan seksual terhadap korban perempuan yang masih berstatus anak berusia 14 tahun yang dilakukan oleh 9 orang. 
  • Tak terima anaknya menjadi korban kekerasan seksual, orang tua korban dan keluarga lainnnya melaporkan terduga pelaku ke Polres Minahasa Utara pada 11 Januari 2024. Dalam proses hukumnya berjalan lambat, hingga akhirnya keluarga korban meminta pendampingan hukum terhadap Advokat untuk membantu kasus yang menimpa keluarganya. Merasa kasus ini seperti diabaikan oleh Polres Minahasa Utara, Penasihat Hukum pun pada 1 Maret 2024 menggelar Konferensi Pers guna untuk mempercepat kasus kekerasan seksual yang ditangani pihak kepolisian. 
  • Beberapa hari kemudian Polres Minahasa Utara mulai bergerak cepat langsung menerjunkan anggotanya ke rumah pelaku, tetapi saat itu anggota yang tergabung dari Polres Minahasa Utara dan Polsek Likupang tidak mampu menahan mereka. Tetapi setelah itu, satu dari 9 terduga pelaku ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. 
  • Pada 30 September 2024 Pengadilan Negeri Airmadidi mengeluarkan putusan perkara No. 81/Pid.Sus/2024/PN Arm menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Josua Alexandro Vieero Kalangit enam tahun dan denda 50 juta rupiah (jika tida dibayar diganti pidana kurungan 3 bulan), dan membayar restitusi sebesar 9 juta rupiah. Putusan ini dianggap terlalu ringan, sehingga keluarga korban dan Penasihat Hukum dan KAKSBG (Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender) bereaksi atas putusan tersebut dan meminta JPU (Jaksa Penuntut Umum) melakukan upaya banding. Tetapi JPU tampak keberatan karena baginya tidak wajib melakukan upaya banding karena putusan tidak di bawah 2/3 dari tuntutannya, yakni 8 tahun tuntutan penjara. Disisi lain, Penasihat Hukum terdakwa tidak terima putusan tersebut, dan melakukan upaya banding di Pengadilan Tinggi Manado.

D. PENDAPAT HUKUM

  • Perlindungan Perempuan dan Penanganan Perkara Yang Berperspektif Korban dalam Mengadili Perkara
  • Dalam hal ini, sangat penting untuk dicatat bahwa seluruh proses pemeriksaan di pengadilan harus berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017). Peraturan ini menjadi pedoman bagi Majelis Hakim dalam memutuskan perkara yang melibatkan perempuan, baik yang menjadi pihak yang berkonflik dengan hukum maupun yang berperan sebagai saksi. Dalam konteks kasus ini, perempuan tersebut berperan sebagai saksi dan sekaligus korban.  Kasus ini harus diadili dengan mengacu pada Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, mengingat bahwa korban dalam perkara ini adalah perempuan, serta tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa merupakan pencabulan yang memiliki dimensi gender, yang perlu diperhatikan dan diperiksa dengan seksama dan hati-hati.
  • Majelis hakim harus memperhatikan asas-asas dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan Hukum sebagaimana yang termuat dalam PERMA 3/2017, dalam Pasal 2 bahwa Hakim mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum berdasarkan asas:
  • Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
  • Non-diskriminasi;
  • Kesetaraan gender;
  • Persamaan di hadapan hukum;
  • Keadilan;
  • Kemanfaatan;
  • Kepastian hukum.
  • Majelis hakim harus mempertimbangkan prinsip perlindungan terhadap perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia antara lain:
  • perlindungan terhadap warga negara dad segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political RightjICCPR) dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelarnin atau gender;
  • bahwa Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW) mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan;
  • Majelis hakim harus mempertimbangkan substansi kesetaraan gender dengan adanya analisis gender sebagai proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja atau peran laki-Iaki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-Iaki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa. Antara lain dengan:
  • mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan Stereotip Gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
  • melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender;
  • menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
  • mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi.
  • Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kekerasan seksual semakin marak terjadi di Masyarakat yang menimbulkan dampak luar biasa kepada Korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga sangat mempengaruhi hidup Korban. Dampak kekerasan seksual semakin menguat ketika Korban merupakan bagian dari Masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti Anak dan Penyandang Disabilitas.
  • Majelis hakim harus meninjau kembali penerapan hukum oleh Jaksa Penuntut Umum dan Pengadilan pada tingkat pertama yang cenderung tidak mengutamakan Ketentuan mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai  undang-undang yang sangat berperan penting bagi transformasi penanganan perkara yang berbasis kekerasan seksual dengan dasar pembentukan bahwa saat ini telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual, namun sangat terbatas bentuk dan lingkupnya. Peraturan perundang-undangan yang tersedia belum sepenuhnya mampu merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di Masyarakat. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga masih belum memperhatikan Hak Korban dan cenderung menyalahkan Korban. Selain itu, masih diperlukan upaya Pencegahan dan keterlibatan Masyarakat agar terwujud kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
  • Penerapan Undang-Undang khusus tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mampu menyediakan landasan hukum materiel dan formil sekaligus sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum Masyarakat, dengan dasar Asas lex specialis derogat legi generalis adalah asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
  • Penjatuhan Hukuman dan Restitusi yang adil bagi Korban
  • Penjatuhan hukuman pidana penjara terhadap Terdakwa Josua selama 6 tahun dan denda 50 juta rupiah masih tergolong ringan dan tidak menghadirkan keadilan bagi korban sebagai seorang anak yang masih dalam masa pertumbuhan sehingga akan mengalami penderitaan fisik dan mental selama hidupnya atas kekerasan seksual yang dialami. Oleh sebab itu, majelis hakim perlu untuk meninjau kembali amar putusan yang memuat hukuman yang lebih adil, sebagaimana prinsip Culpae Poena Par Esto yakni harus memberikan hukuman sesuai dengan kesalahan atau kejahatan yang telah dilakukannya.
  • Hukuman tersebut, tampak jauh dari adil ketika dilihat dari perspektif korban, terutama jika korban adalah seorang perempuan yang masih berstatus anak. Sebagai seorang anak, korban seharusnya dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasinya, namun kenyataannya, ia justru diperlakukan dengan cara yang sangat merugikan dan menekan. Hukuman terhadap pelaku yang hanya 6 tahun penjara tidak mencerminkan beratnya dampak psikologis, emosional, dan fisik yang harus ditanggung oleh korban, apalagi jika korban adalah anak yang belum cukup dewasa untuk sepenuhnya memahami atau mengatasi trauma yang ditinggalkan oleh kekerasan seksual. Seperti pengaruh aktivitas korban saat bersekolah bersama teman sebayanya dan lingkungan bermasyarakat dimana diketahui bahwa korban dan pelaku berdomisili/beralamat pada satu desa yang sama sehingga akan rentan menimbulkan dampai traumatik dan berkepanjangan sepanjang hidup korban.
  • Selain itu, denda sebesar 50 juta rupiah yang dikenakan pada pelaku terasa sangat tidak proporsional, mengingat nilai tersebut tidak dapat menutupi penderitaan yang dialami korban, baik secara materiil maupun non-materiil. Seorang anak korban kekerasan seksual seringkali kehilangan lebih dari sekadar rasa aman; mereka bisa mengalami gangguan psikologis yang berkepanjangan, seperti trauma, kecemasan, depresi, dan gangguan kepercayaan diri yang dapat mempengaruhi mereka sepanjang hidup. Rasa malu, kebingungannya, dan perasaan terasing sering kali menjadi beban psikologis yang sangat berat untuk dihadapi, bahkan lebih sulit bagi seorang anak yang belum sepenuhnya mengerti tentang diri mereka atau dunia di sekeliling mereka.
  • Dalam perkara ini, Putusan hakim pada tingkat pertama memuat untuk membayar restitusi sebesar 9 juta rupiah, yang menurut kami tidak proporsional dan adil dengan kerugian materil dan non materil yang dialami korban. 
  • Sebagai seorang anak, korban tidak hanya kehilangan hak untuk hidup dalam keadaan aman, tetapi juga menghadapi kerugian dalam bentuk biaya pengobatan, pemulihan mental, serta ketidakstabilan emosional yang terus berlanjut. Nilai restitusi yang rendah ini seolah mengabaikan kompleksitas dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual, yang seharusnya dihitung secara lebih mendalam dan komprehensif. Dalam banyak kasus, pengaruh kekerasan seksual terhadap anak bisa berlangsung seumur hidup, bahkan hingga dewasa, yang mencakup masalah hubungan interpersonal, pendidikan, dan keterampilan sosial. Dengan kata lain, restitusi yang diberikan sangat jauh dari cukup untuk mengembalikan atau memperbaiki kehidupan yang telah rusak.
  • Dari perspektif korban, terutama yang masih berstatus sebagai anak, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku dan jumlah restitusi yang diterima tidak hanya terasa tidak adil, tetapi juga mencerminkan ketidakseriusan dalam menangani kejahatan berat seperti kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini memperburuk rasa ketidakberdayaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh korban, yang merasa bahwa sistem hukum dan pihak berwenang belum sepenuhnya melindungi mereka atau memberi keadilan yang seharusnya mereka terima.
  • Restitusi merupakan salah satu hak Korban berdasarkan Pasal 7A UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dapat dimintakan sebagai ganti kerugian atas timbulnya akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat dari tindak pidana. Restitusi ini juga dapat dimintakan sebagai pengganti biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang harus dijalani oleh Korban sebagai akibat tindak pidana; Meskipun kerugian yang dialami oleh Korban bukanlah merupakan kerugian fisik, di dalam kasus kekerasan seksual, korban cenderung mengalami trauma yang besar sebagai dampak terjadinya perbuatan, sehingga bantuan psikologis sangat perlu dan mendesak untuk diberikan kepada Korban supaya dirinya dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala; Penghukuman kepada pelaku berupa pidana penjara saja bukanlah satu-satunya bentuk keadilan yang dapat diberikan oleh Negara kepada korban kekerasan seksual. Penjatuhan perintah untuk membayarkan restitusi juga menjadi perwujudan keadilan yang dapat diberikan oleh Negara kepada korban untuk memulihkan dirinya; PERMA 3/2017 juga menegaskan di dalam Pasal 8 bahwa Hakim agar menanyakan dampak dan kebutuhan serta memberitahukan hak Korban untuk dapat memohonkan restitusi ini; Tidak hanya itu, Hakim juga diharapkan dapat mempertimbangkan situasi dan kepentingan korban dari kerugian yang timbul akibat ketidaksetaraan Gender. Oleh karena itu perlu adanya peninjauan ulang terhadap besaran nilai restitusi dengan lebih adil dan dapat mengakomodasi keperluan materil dan non materil korban dalam jangka panjang.
  • Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam UU 12/2022 bahwa Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban. Selain itu, perhatian yang besar terhadap penderitaan Korban juga terlihat dalam bentuk pemberian Restitusi. Restitusi diberikan oleh pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai ganti kerugian bagi Korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi, negara memberikan kompensasi kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

  • Proses peradilan yang melibatkan perempuan dalam Perkara No. 130/PID/2024/PT MND dalam hal ini perempuan sebagai korban, harus berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 yang menekankan asas-asas seperti penghargaan terhadap martabat manusia, kesetaraan gender, non-diskriminasi, dan keadilan. Peradilan juga harus memperhatikan aspek perlindungan hak asasi perempuan, baik di tingkat nasional maupun internasional, serta memastikan bahwa gender tidak menjadi dasar diskriminasi dalam penanganan perkara. Majelis hakim perlu melakukan analisis gender dan mempertimbangkan kearifan lokal dalam menerapkan hukum. Kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia yang memberikan dampak fisik, mental, sosial, dan ekonomi yang signifikan bagi korban, terutama jika korban termasuk dalam kelompok marginal. Penanganan kasus kekerasan seksual harus mengutamakan hak korban dan menerapkan peraturan yang lebih mengakomodasi penanganan kasus ini, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang lebih spesifik dalam menangani kekerasan seksual.
  • Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual, seperti penjara selama 6 tahun dan denda 50 juta rupiah, dianggap terlalu ringan dan tidak proporsional terhadap penderitaan yang dialami oleh korban. Restitusi yang hanya sebesar 9 juta rupiah juga dinilai tidak adil dan tidak mencakup kerugian materil dan non-materil korban. Oleh karena itu, majelis hakim diharapkan untuk meninjau kembali besaran restitusi dan memberikan keputusan yang lebih adil sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban, dengan memperhatikan hak korban untuk mendapatkan pemulihan yang setara, baik secara psikologis maupun finansial. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan pemulihan korban dan memberikan kompensasi yang memadai, termasuk jika pelaku tidak dapat membayar restitusi.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *