Dalam sejarah manusia, tumbal telah menjadi bagian dari ritual pembangunan. Walaupun orang modern mengutuk pengorbanan manusia dalam tradisi tua tapi hal itu tetap berlangsung hingga kini. Gambaran ritual pengorbanan manusia yang mengerikan dianggap suatu tradisi tidak beradab. Dalam tradisi agama semitik, pengorbanan semacam itu kemudian diganti dengan kurban hewan. Seperti sebelumnya, kurban haruslah yang tidak memiliki cacat sebagai lambang kerelaan dan ketulusan. Tradisi ini masih bertahan hingga kini sekalipun telah ada kurban dalam bentuk lain. Kurban atau persembahan selalu mengikuti corak sosial; dahulu kurban selalu dalam bentuk in natura. Kurban berasal dari sesuatu yang hidup seperti hasil panen ladang atau dari ternak. Kemudian seiring dengan perkembangan masyarakat kurban diubah dalam bentuk uang atau barang lainnya.

Di era modern, kurban dari yang hidup sebagai prototipe dari persembahan, masih tetap ada. Seperti uraian seorang teolog dan feminis kultural, Marriane Katoppo (1943 – 2007), bahwa perubahan lanskap dari tradisional ke modern tidak mengubah esensi dari realitas masyarakat. Dulu orang mengutuk ritual kurban manusia dalam tradisi tua tapi pembangunan modern masih sama, juga mengorbankan manusia. Esensi dan substansi pengorbanannya sama tapi metodenya berbeda. Ketika petani dan nelayan kehilangan ruang hidup karena pembangunan gedung-gedung mewah, itu sama saja dengan pengorbanan manusia. Orang-orang ini kehilangan sumber mata pencaharian mereka dan berangsung-angsur mati terpinggirkan. Mereka kemudian diarahkan untuk menjadi budak-budak dalam industri di bawah kontrol kelas atas.

Aksi demonstrasi Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup Tolak Reklamasi Manado Utara.

Manado adalah ibukota (capital city) Provinsi Sulawesi Utara. Proyek pembangunan kota ini telah melakukan restruksturisasi ruang. Waktu terjadi banjir bandang di kota ini pada tahun 2014 pemerintah belum, katanya, menetapkan tata ruang kota. Diskusi publik yang membahas soal pembangunan kota yang semerawut memaksa anggota-anggota dewan untuk bicara. Mereka berdalih bahwa memang sampai waktu itu tata ruang kota belum ada. Jadi itu menunjukkan bahwa pembangunan di kota ini didikte oleh kepentingan kapital bukan berdasarkan akal. Pembangunan atas nama investasi untuk kaum elit bukan pembangunan untuk kepentingan bersama. Reklamasi pantai, pembangunan jalan tol, dan pembangunan bendungan telah dipertanyakan untuk siapa. Sebabnya ada masalah sosial yang meliputi masalah ekonomi dan hukum serta masalah lingkungan akibat pembangunan. Ada orang-orang yang menjadi korban kehilangan hak milik dan ruang hidup.

Laut Sebagai Ruang Publik. Sejak pertengahan tahun 90an reklamasi pantai Manado disebut sebagai proyek mencegah abrasi. Kemudian proyek itu berlanjut pada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, layanan jasa, dan dunia hiburan. Sampai sekarang ini proses reklamasi pantai masih terus berlanjut tanpa memperhatikan kerusakan ekosistem laut itu sendiri. Proses pembangunan itu menjadi masalah bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang kehilangan ruang hidup dan perusakan terumbu karang. Pantai sebagai ruang publik, selain tempat mencari ikan bagi nelayan, juga adalah ruang rekreasi bagi masyarakat umum. Tetapi pembangunan yang didikte oleh investasi selalu mengubah ruang publik menjadi ruang privat. Privatisasi ruang publik ini menciptakan larangan akses umum; kecuali yang berbayar. ‘DILARANG MASUK!’. ‘WILAYAH INI DIKUASAI OLEH..…’. ‘TANAH INI MILIK…..’. ‘Rp 1000/orang. ‘Parkir Rp 5000’. Yang awalnya milik umum menjadi milik swasta yang dilindungi pemerintah. Bahkan pemerintah sering mengklaim tanah dan wilayah sebagai kepemilikan negara untuk kepentingan swasta. Ini merupakan proses privatisasi dan swastanisasi ruang publik. Wilayah yang dulu dimiliki secara komunal diubah menjadi milik individual.

 Dari Laut Ke Darat. Reklamasi pantai sebagai pusat belanja, jasa, dan hiburan lebih kuat ditunjang oleh bisnis real estate. Seorang sosiolog marxis, Henri Lefebvre (1901 – 1991), menggambarkan ruang-ruang perkotaan sebagai sirkuit-sirkuit kapital. Sulawesi Utara yang berusaha di-upgrade menjadi wilayah industri pariwisata meningkatkan pembangunan berbagai infrastruktur. Di dalamnya ada upaya membangun tourism trap agar orang menghabiskan uang dalam lingkaran bisnis orang atau kelompok tertentu. Dari perusahan maskapai, hotel, restoran, supermarket, perumahan, sampai diskotik menjadi labirin yang diciptakan untuk para konsumen. Bangun-tidur, makan-minum, dan kerja-rekreasi semuanya diarahkan dalam akumulasi dan sirkulasi modal. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Master Plan Pembangunan biasanya juga ‘dirahasiakan’ dari masyarakat umum oleh kaum elit politik. Oleh karena jalur dan wilayah-wilayah strategis otomatis menaikkan harga tanah. Orang- orang yang paling tahu tentang ini akan jauh hari lebih dulu membeli tanah atau memanipulasi kepemilikan tanah. Dalam hal manipulasi kepemilikan sering terjadi kolusi dengan oknum pemerintah yang menangani bidang pertanahan. Para ‘mafia’ ini akan menjual tanah dengan harga yang sangat tinggi ke pihak kontraktor. Contohnya, pembangunan perumahan elit dan pembangunan jalan tol yang menelan korban pelanggaran hak. 

Strukturisasi dan restrukturisasi ruang memaksa penyesuaian lingkungan berdasarkan pandangan kelas atas. Pembangunan perumahan berdasarkan pandangan kaum elit (gentrifikasi) di Manado juga terdapat kasus pelanggaran atas hak kepemilikan tanah. Selain itu berkaitan dengan masalah AMDAL yang tidak melibatkan ahli yang jujur dan masyarakat sekitar, pembangunan cenderung merusak lingkungan. Betonisasi dan deforestisasi membuat berkurangnya daerah resapan air yang menyebabkan banjir di masa hujan dan krisis air di masa kemarau. Perumahan-perumahan di perkotaan ini pun diciptakan sebagai sirkuit kapital. Orang-orang yang tinggal di sini terikat dengan pusat perbelanjaan, jasa, dan hiburan. Mereka harus membeli rumah dengan harga mahal atau dengan angsuran yang memberi keuntungan berlipat ganda ke pihak pemilik modal atau developer perumahan. 

Pembangunan jalan tol juga banyak mengorbankan hak-hak warga dan melanggar etika sosial serta lingkungan. Ada pengeluhan tentang masalah pembebasan lahan yang belum tuntas dan jalur pembangunan yang merusak situs alam dan budaya. Jalan tol menjadi simbol jalan masuknya investasi, jalan kapital, yang mengorbankan warga lokal. Di mana warga lokal menjadi korban pembangunan dan infrastruktur itu pun lebih dinikmati oleh golongan kelas atas. Seperti gambaran Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels; di mana pembangunan jalan raya sepanjang 1000 km di pulau Jawa pada masa Hindia Belanda (abad XIX) mengorbankan banyak orang. Kerja paksa dan pembunuhan massal masyarakat pribumi dalam pembangunan infrastruktur untuk kepentingan penjajah. Pada masa itu Indonesia merupakan wilayah investasi bagi Eropa; suatu praktek kapitalisme global yang menciptakan tragedi. Sama halnya dengan laju pembangunan infrastruktur sekarang ini untuk kepentingan elite nasional dan global. Tak heran Pram menyebut Indonesia adalah negeri budak; budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain. 

Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan tak jarang telah menggadaikan sumber daya alam ke pihak investor, seperti kandungan mineral yang dikelola oleh perusahan-perusahan tambang. Selain pembangunan jalan tol yang akan menyambungkan kota-kota di sepanjang pulau Sulawesi, juga sudah ada rencana pembangunan jalan kereta api. Infrastruktur dengan dalih pembangunan daerah ini lebih banyak menguntungkan kaum elit. Karena dalam proses industrialisasi, perusahan-perusahan mematikan usaha-usaha pertanian masyarakat pedesaan. Dengan permainan monopoli kontrol harga maka berangsur-angsur lahan-lahan pertanian akan dibeli oleh perusahan dan masyarakat desa terserap menjadi buruh pabrik. Inilah proses munculnya kapitalis industri dan buruh karena kepemilikan tanah telah beralih ke pihak perusahan. Proses akumulasi modal pun pada tahap ini akan berlangsung terus menerus sampai segala sesuatu tereksploitasi habis.

Proses pembangunan seperti ini mengorbankan masyarakat lokal untuk kesenangan dan keuntungan kelas elit. Masyarakat kelas bawah ditindas tereksploitasi oleh arah pembangunan yang disusun oleh teknokrat. Para teknokrat dan politisi yang menindas ini tak lain dipilih sendiri oleh masyarakat. Penguatan basis militer dan aparat represif lainnya juga bertujuan untuk melakukan pasifikasi gerakan sosial. Aparat penegak hukum yang harusnya menegakkan keadilan menjadi aparat represif untuk melindungi kebijakan politik. Berbagai kebijakan yang diciptakan tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah. Para anggota dewan di parlemen bukan representasi kepentingan rakyat tapi telah menjadi orang-orang yang mendapat mandat untuk menentukan segala sesuatu. Kehadiran (present) mereka bukan kehadiran kembali (re-present) dari kepentingan rakyat tapi mereka telah mewakili kepentingan kelas elit. Berapa banyak dari mereka yang hadir dalam pendampingan masyarakat terkait konflik agraria? Sampai di sini kita perlu mempertanyakan kembali kehadiran pemerintah apakah sebagai representasi atau mandat politik.

Swadi Sual, Penulis.

Pemerintah atau pihak-pihak terkait sering menjanjikan ganti rugi. Tapi hal semacam ini sering tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh kelas bawah. Pergantian istilah ganti-rugi menjadi ganti-untung tetap saja merugikan. Sering ada janji bebas melaut dan pembuatan tambatan perahu bagi nelayan di awal reklamasi tapi seiring waktu tetap saja akan muncul larangan. Begitu juga dengan janji-janji memberikan modal dan ruang usaha bagi masyarakat terdampak pembangunan. Ruang-ruang semacam itu lebih diprioritaskan untuk jaringan keluarga dan kolega pembuat kebijakan.

Manado Sebagai Teks. Perkembangan Kota Manado membutuhkan analisis perkotaan yang melibatkan lintas disiplin ilmu. Untuk melihat perubahan dan masalah yang terjadi dalam masyarakat, mata pencaharian, perilaku sosial, lingkungan hidup, dan politik pembangunan. Perlu adanya riset dan gerakan yang kontributif dalam proses pembangunan yang memperhatikan totalitasnya. Suatu pembangunan yang berkeadilan bagi manusia dan ekosistemnya. Reklamasi harus dilawan dengan reklaiming. Eksekusi harus dilawan dengan demonstrasi. Ketika semua itu tidak lagi memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *